Label

Minggu, 15 Februari 2015

Sejarah Muhammadiyah Bulu

DARI MASYUMI KE MUHAMMADIYAH



Kawan, tahu nggak cikal bakal Muhammadiyah Bulu itu dari mana ? dan siapa yang membawa serta menyebarkannya ?

Adanya Muhammadiyah didaerah Bulu tidaklah lepas dari peran sejarah Masyumi Cabang Bulu yang dahulu menjadi kekuatan politik yang utama didaerah pesisir pantura tak terkecuali di Bulu dan sekitarnya.

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah partai politik ummat Islam di Indonesia yang utama pasca kemerdekaan (orde lama), yang didukung oleh berbagai macam organisasi Islam diseluruh penjuru Nusantara, baik yang kecil ataupun yang besar seperti Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama’, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Sarikat Islam, dll.

Dan pada waktu pertengahan perjalanannya Masyumi ditinggal oleh dua pendukungnya yakni NU dan SI yang akhirnya mendirikan partai sendiri (Partai NU dan PSII), peristiwa inilah yang memulai terciptanya pecahnya politk Islam di Bulu menjadi dua kubu besar yakni Partai Nahdhotul Ulama’ dan Masyumi (Non NU). Setelah itu terjadilah beberapa gesekan politik antara Partai Nahdhotul Ulama’ dan Masyumi (Non NU) sehingga muncul ketegangan-ketegangan yang mencapai puncaknya pada “Peristiwa Bulu Kelabu” yaitu peristiwa bentrok fisik antara Gerakan Pemuda Anshor (Pemuda NU) dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (Pemuda Masyumi) diwilayah Bulu. Sehingga setelah peristiwa tersebut daerah Bulu terpecah menjadi dua Blok besar yakni Blok NU dan Blok Non NU (Masyumi).

Pada tahun 1959 setelah terbitnya Dekrit Presiden, Presiden Soekarno menginstruksikan untuk dibubarkannya Masyumi dan Masyumi dengan terpaksa membubarkan dirinya baik ditingkat pusat maupun daerah, sehingga Masyumi Cabang Bulu juga harus membubarkan diri pada tahun tersebut. Dan setelah itu untuk mengkoordinasi para mantan anggota Masyumi di Bulu yang tidak punya wadah organisasi, maka didirikanlah Persyarikatan Muhammadiyah di Bulu serta mengubah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menjadi Pemuda Muhammadiyah. Dan setelah itu Muhammadiyah di Bulu terus dibina oleh KH. Mahbub Ikhsan Tokoh Muhammadiyah dari kota Tuban dan hingga sampai sekarang Muhammadiyah beserta Ortomnya mampu survive dan punya amal usaha lembaga Pendidikan yang bisa dibanggakan di Bulu. Semoga semangat perjuangan dalam mewujudkan misi ke-Islamannya mulai dari Masyumi hingga ke Muhammadiyah tetaplah terjaga dan berkobar serta tidak akan luntur digerus oleh waktu. Amin.........!

                                           

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA




Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke  Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.  Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. 
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya  Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World  pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.   
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology.  Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu  ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung “Tradisionalisme” Membangun Pluralisme Agama). Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn, Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar  terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas. Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
di pinggir jalan kota Manchester Inggeris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.  
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne  juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilÉhahu hawÉhu (QS.25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-dokrin. 
Tapi bagi sosilog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa difahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra-psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi. Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Amstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Professor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia. 
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal)  harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan.  Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya. Socrates pun pernah berkata:”Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif.  Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi atheisme.  Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-GhazzÉli dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak,  kita bisa  bayangkan apa reaksi al-GhazzÉli ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa). Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan  atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s really religion but without god. Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”….”money politik  lÉ siyyama”
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata professor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” membiarka pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar  mengingatkan “kalau anda  tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F.Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilsme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. SharÊ‘ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka  semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.



Uwais Al-Qarni

Uwais Al-Qarni sang Penghuni Langit (surga)
Dikisahkan ketika zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dahulu hiduplah seorang pemuda miskin dan yatim yang tinggal bersama ibunya dinegeri Yaman, pemuda itu bernama Uwais Al-Qorni. Sehari-harinya dia hidup sebagai penggembala kambing.Kehidupannya yang miskin membuat ia tak dikenal oleh penduduk Yaman,ia sering menerima celaan dan cercaan dari orang-orang sekitar bahkan ia juga dituduh sebagai pencuri. Pernah suatu ketika seorang fuqoha’ dari negeri Kufah datang dan duduk bersamanya kemudian menghadiahkan 2 helai pakaian untuknya. Namun, Uwais menolaknya dengan halus seraya berkata “Aku khawatir, nanti orang-orang akan menuduhku mencuri lagi, karena bagaimana bisa aku memperoleh pakaian ini.”
Meskipun miskin, Uwais tak pernah mengeluh atas kekurangannya bahkan jika ada upah hasil menggembala yang berlebih ia berikan kepada tetangganya yang miskin. Subhanallah. Meski hidup serba kekurangan, ia masih bisa memberi kepada saudaranya yang tidak mampu. Uwais Al-Qorni mulai memeluk Islam sejak seruan Islam pertama kali tiba di Yaman karena rindunya ia akan datangnya kebenaran. Tetangga-tetangga Uwais yang juga memeluk Islam banyak yang mengunjungi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah untuk menerima ajaran beliau secara langsung, kemudian kembali ke Yaman dan merubah cara hidup mereka sesuai dengan ajaran Islam.
Melihat tetangganya yang telah pulang ke Yaman setelah bertemu kekasih Allah, membuat Uwais sedih. Kecintaanya yang sangat dalam kepada baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menumbuhkan rasa rindu yang begitu berat untuk bertemu dengan beliau. Namun, Uwais hanya bisa memendam keinginannya itu karena ia harus merawat ibunya yang telah uzur serta lumpuh. Seringkali ia merenung dan bertanya di dalam hatinya, “Kapankah ia akan bisa melihat wajah baginda rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat?”
Akhirnya pada suatu hari, atas izin Allah, Uwais berkesempatan untuk menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ibunya mengizinkannya untuk berangkat ke Madinah dan memintanya untuk segera kembali ke Yaman setelah berjumpa dengan baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum berangkat ke Madinah, tak lupa ia menyiapkan semua keperluan yang dibutuhkan ibunya dan meminta tetangganya untuk menemani ibunya selama ia berpergian. Meski banyaknya rintangan yang ia hadapi, selama menempuh perjalanan panjang sejauh 400 km dari Yaman menuju Madinah semangatnya untuk bertemu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tak pernah surut.
Namun, setibanya Uwais di Madinah, ketika ia mendatangi rumah baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang di tengah medan peperangan. Karena kerinduannya yang sangat mendalam itu, ia rela menunggu kepulangan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam di depan rumah beliau. Disaat ia menunggu, teringat olehnya ucapan ibunya yang memintanya untuk segera pulang setelah bertemu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, Uwais pun menjadi ragu. Tetapi akhirnya karena ketaatannya kepada ibunya Uwais kembali ke Yaman dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari medan perang, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kedatangan orang yang mencarinya kepada Aisyah radiallahu’anha, beliau menjelaskan bahwa Uwais Al-Qorni adalah anak yang taat pada ibunya dan dia adalah penghuni langit. Sebagai mana Sabda beliau “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah tapak tangannya.” Kemudian baginda memandang kearah Ali dan Umar dan bersabda, “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengannya, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langi dan bukan penghuni bumi.” Aisyah radiallahu’anha dan para sahabat tertegun mendengar penjelasan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Hingga ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Khalifah Umar bin Khattab teringat akan sabda beliau dan mengajak Ali untuk bersama-sama mencari orang yang bernama Uwais Al-Qorni. Setiap pedagang yang datang dari Yaman mereka hampiri untuk menanyakan keberadaan Uwais. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Seorang Uwais yang miskin tak seorang pun mengenali dirinya di bumi ini.
Suatu ketika setelah berbulan-bulan lamanya pencarian, Khalifah Umar Al Khattab dan Ali membuahkan hasil, serombongan pedagang dari Yaman memberitakan bahwa Uwais sedang menggembala unta diperbatasan kota.
Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bergegas pergi ke perbatasan kota untuk menemui Uwais, setibanya diperbatasan kota mereka segera menghampiri penggembala tersebut dan mengucapkan salam. Namun ternyata Uwais sedang melakasanakan shalat,setelah ia menyelesaikan shalatnya dan menjawab salam mereka sambil bersalaman dengan keduanya. Sewaktu bersalaman segera Khalifah Umar Al Khattab melihat telapak tangan Uwais untuk membuktikan apa yang pernah rasul katakan kepada beliau. Ternyata benar tangan penggembala itu mengeluarkan cahaya putih dialah Uwais sang penghuni langit.
Melalui cerita dari Uwais tahulah mereka bahwa ternyata ibu Uwais telah meninggal dunia. Kemudian Khalifah Umar bin Khattab dan Ali meminta Uwais untuk mendoakan mereka, tetapi Uwais enggan dan berkata, “Sayalah sepatutnya meminta doa daripada kalian”. Mendengar jawaban Uwais khalifah Umar bin Khattab berkata, “Tujuan kami datang kesini adalah untuk meminta doa dan istighfar darimu.” Karena desakan kedua sahabat Nabi ini, akhirnya Uwais berkenan untuk mendoakan mereka dan sebagai ucapan terima kasih, Khalifah Umar berjanji akan menyumbangkan uang Negara dari baitulmal untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Ternyata Uwais menolaknya dengan halus dan berkata “Hamba mohon cukup hari ini saja hamba dikenali orang, hari-hari selanjutnya biarkanlah hamba yang fakir ini tidak dikenali orang lagi.”
Sehingga semenjak saat itu Uwais Al Qorni tidak dikenali orang-orang lagi. Namun, terdapat banyak riwayat yang menceritakan tentangnya. Hingga saat ajal datang menjemputnya terjadi peristiwa yang mengejutkan penduduk sekitarnya begitu ramai orang tak dikenal yang mengurusi jenazahnya.
Maka benarlah sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tentang Uwais Al Qorni yang merupakan seorang penghuni langit. Meski ia tak dikenali oleh penduduk bumi, tetapi ia begitu terkenal di kalangan penghuni langit.
Mahasuci Allah. Itulah balasan bagi orang yang benar-benar bertaqwa dan sempurna imannya. Meskipun ia tidak mengenali siapa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan meskipun ajaran Islam tak langsung diterimanya dari beliau, ia begitu mantap meyakini Islam.

BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD

BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD
( KHABAR AL-WAHID )
Mukaddimah

Pembahasan seputar Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah.
Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana keberpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.

Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah
(Hizbut Tahrir). Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin).
Benarkah statement-statement yang mereka lemparkan?, berikut ulasan mengenai masalah yang amat prinsipil dan urgen tersebut.
Semoga bermanfa'at bagi kita semua.

A. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid )

Definisi

Hadits Ahad adalah hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak orang, hingga tidak mencapai mutawâtir (yaitu kebalikannya). Hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya maka dinamaakan hadits gharîb. Bila diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya disebut dengan Hadits 'Azîz. Sedangkan Hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir disebut Hadits Masyhûr. Jadi, Hadits Ahâd itu hadits yang tidak sampai pada syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat seputar masalah: Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi yang pasti (bersifat keilmuan dan yaqin)?

I. Pendapat Pertama:

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.
Ini adalah pendapat yang dinisbahkan (dilekatkan) kepada Imam as-Sunnah, Imam Ahmad dan Madzhab Ahl azh-Zhâhir (Zhâiyyah), namun penisbahan ini TIDAK BENAR SAMA SEKALI.
IMAM AHMAD dikenal sebagai Ahli al-Jarh wa at-Ta'dîl (ulama kritikus Hadits) dan tidak dapat dihitung berapa banyak bantahan beliau terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan para periwayat kategori LEMAH. Dan ini cukup sebagai bantahan terhadap apa yang dituduhkan kepada diri beliau tersebut.
Sedangkan Ibn Hazm, sebagai salah seorang Ahl azh-Zhâhir mengaitkan berfungsinya Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sebagai pemberi informasi ilmu (hal yang yaqin dan pasti) dengan 'adâlah (keadilan) sang perawi hadits.

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT PERTAMA INI

Pendapat tersebut jelas-jelas TIDAK BENAR DAN TIDAK MASUK AKAL, sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya, padahal kita tahu bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong dan suka lalai.

II. Pendapat Kedua

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd TIDAK DAPAT MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA MUTLAK/TOTAL.

Ini adalah pendapat sebagian Ahli Kalam (Mutakallimin) termasuk Mu’tazilah dan Hizbut Tahrir. Demikian juga, penisbahan pendapat ini kepada mayoritas Ahli Fiqih dan Ahli Hadits perlu dikritisi dan diberikan catatan terlebih dahulu.

SYUBHAT MEREKA

Mereka berkata, "Sesungguhnya kami di dalam menerima Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd sekalipun tingkat 'adalah nya mencapai puncaknya, tidak mendapatkan pada diri kami selain persentase dominan bagi kebenarannya atas kebohongannya namun tanpa dapat memastikan.

JAWABAN TERHADAP PENDAPAT TERSEBUT

Kalau argumentasi anda demikian, maka kami juga akan katakan bahwa terhadap Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, justeru kami mendapatkan pada diri kami informasi ilmu dan kepastian tentangnya, bukan seperti yang anda katakan bahwa antara yang satu dengan yang lain tidak ada yang lebih unggul. Manakala anda tidak mendapatkan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) pada diri anda, maka itu urusan pribadi anda, tidak boleh digeneralisir sebab ia hanyalah pemberitaan terhadap apa yang ada di dalam diri anda sendiri. Hal ini dikarenakan, anda tidak memiliki jalur-jalur yang dapat menginformasikan ilmu kepada anda sebagaimana yang didapat oleh Ahlussunnah dan al-Hadits, yang memang melakoninya dan menghabiskan usia mereka untuk mendapatkan dan mencarinya.

Karena itu, kami katakan kepada orang yang menolak Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut, "Alihkan perhatian anda kepada hadits, antusiaslah untuk itu, kumpulkan, telusuri jalur-jalurnya, kenali kondisi para periwayat dan biografi mereka, jadikan hal itu sebagai tumpuan tuntutan dan akhir tujuan anda. Bila hal ini anda lakukan, maka ketika itu anda akan mengetahui: "Apakah Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd tersebut memberikan informasi ilmu kepada anda atau tidak?." Sedangkan bila anda ogah-ogahan terhadapnya dan di dalam mencarinya, maka sudah tentu ia tidak akan memberikan informasi ilmu kepada anda.
Nah, andaikata anda tetap juga mengatakan bahwa ia tidak memberikan informasi ilmu kepada anda karena menduga-duga; maka itu artinya, anda telah menginformasikan berita yang terkait dengan bagian dan jatah anda sendiri dari hal itu (yang tidak anda ketahui sehingga tidak perlu melibatkan orang lain).

III. Pendapat Ketiga

Khabar al-Wâhid atau Hadîts Ahâd MEMBERIKAN INFORMASI YANG PASTI (BERSIFAT KEILMUAN DAN YAQIN) SECARA BERSYARAT

Inilah pendapat YANG SHAHIH.

Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat), sementara Qarînah (bentuk tunggal dari Qarâ`in) bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri; bisa jadi terkait dengan Mukhbir (pembawa berita) dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya. Termasuk dalam hal ini, Khabar Mustafîdl (berita yang demikian banyak, tak terhingga; baca: belecekan) yang pada awalnya hanya diriwayatkan oleh seorang, lalu menjadi banyak dan masyhur dan Khabar yang sudah mendapatkan penerimaan dari umat (al-Khabar al-Mutalaqqa 'Indal Ummah bi al-Qabûl), atau oleh sebagian ulama terkait di bidangnya yang diantaranya ada diriwayatkan oleh asy-Syaikhân (Imam Bukhariy dan Muslim) atau salah seorang dari keduanya, diantaranya juga ada yang merupakan hadits Musalsal (bermata rantai) dengan para Imam yang Hâfizh seperti Imam Malik dari Nafi' dari Ibn 'Umar. Khabar ini dan sejenisnya jelas memberikan informasi ilmu menurut JUMHUR Ahli Hadits, Ahli Ushul, mayoritas Ahli Kalam, semua Ulama Salaf dan para Ahli Fiqih umat. Dalam masalah ini, antara ulama Salaf tidak terdapat perselisihan pendapat.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA

Alhamdulillah, dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali, diantaranya:

  • Membeda-bedakan antara Khabar al-Wâhid (Hadîts Ahâd) dan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, tidak pernah dikenal oleh para shahabat ataupun para Tabi'in.
    Realitasnya, informasi yang disampaikan langsung oleh Rasulullah dibenarkan oleh kaum Mukminin (para shahabat) tanpa mereka perlu mendapatkannya melalui pembawa-pembawa berita yang mutawatir (dalam jumlah banyak). Demikian pula sebaliknya, Rasulullah sendiri membenarkan berita/informasi yang disampaikan oleh para shahabat beliau. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan, demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shahabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berkata terhadap orang yang memberikan informasi kepada mereka, "Khabar yang kamu bawa adalah Khabar Ahâd, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin)… sehingga kemudian ia bisa menjadi Mutawatir.

    Masalah adanya diantara mereka, orang yang abstain (tawaqquf) terhadap suatu informasi hingga mendapatkan penegasan dari orang lain, tidak berarti sama sekali bahwa mereka semua menolak Khabar Ahâd.
    Hanya saja, memang dalam momen yang amat jarang, mereka sangat ekstra hati-hati di dalam menerima informasi.
    Oleh karena itu, kami tegaskan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) secara bersyarat. Sebab, pendapat yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Khabar al-Wâhid) tidak memberikan informasi ilmu secara mutlak justeru dapat memandegkan urusan dien dan dunia sekaligus. Ini adalah bentuk pembatalan yang terang-terangan terhadap ijma' para shahabat, Tabi'in dan para ulama setelah mereka.
  • Rasulullah pernah mengirimkan para shahabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Rabb-nya secara orang per-orang (Ahâd). Andaikata khabar yang mereka bawa tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu beliau tidak akan pernah mengirimkan mereka secara per-orangan seperti itu, sebab jelas hal itu perbuatan sia-sia yang amat jauh dari kepribadian seorang pembawa Risalah yang seharusnya bersih dari melakukan kesia-siaan seperti itu.
  • Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin saat mereka sedang shalat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba` bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar yang dibawanya dan meninggalkan hujjah yang masih mereka pegang dan bersifat pasti, lalu mereka memutar ke belakang mengarah ke Kiblat sebagai pemenuhan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan kepada mereka sekalipun hanya melalui jalur satu orang.
    Kenyataannya, Rasulullah tidak mengingkari sikap mereka terhadap hal itu, bahkan sebaliknya, berterimakasih atas tindakan mereka tersebut.
B. Berhujjah Dengan Hadits Ahad ( Khabar Al-Wahid) Di Dalam Masalah 'Aqidah

Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) di dalam masalah 'Aqidah kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian, maka khabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang bukan dipaksa-paksakan.
Teori berfikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum Ahli Kalam (Mutakallimin) dari tokoh Asyâ'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-Ma'âliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Râziy. Dan sekarang faham ini dibawa oleh Hizbut Tahrir sebagai penerus dari kaum Mu'tazilah (Neo Mu'tazilah/Mu'tazilah gaya baru).

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT INI

Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya bahwa Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) yang dipertegas dengan Qarâ`in (dalil-dalil penguat) dapat memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh mereka yang menolak tersebut hanyalah : Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) tidak boleh dijadikan hujjah di dalam masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat Zhanniy (tidak pasti) dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.

ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT KETIGA (MADZHAB SALAF) DI DALAM MASALAH INI

1. Membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) merupakan perbuatan BID'AH (mengada-ada) yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (Salaf). Bahkan biografi dan karya-karya tulis mereka menunjukkan hal yang amat kontras sama sekali dengan hal itu. Para shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan Ahl al-Hadits dan as-Sunnah masih senantiasa berhujjah dengan khabar-khabar seperti itu di dalam menetapkan masalah Shifat Allah, Qadar, Asmâ`, Hukum-hukum, dan lain sebagainya.

2. Adanya khabar-khabar (hadits-hadits) yang mutawatir dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke pelbagai pelosok negeri, demikian juga kepada para raja, kisra, kaisar dan selain mereka dalam rangka mendakwahi mereka kepada Allah. Sudah barang tentu, hal pertama yang disampaikan oleh mereka ketika itu adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله -عز وجل- . وفي رواية : فادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله ...""
Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab; maka hendaklah hal pertama yang engkau dakwahi/ajak mereka kepadanya (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."
Di dalam riwayat yang lain,
"…Maka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa Tiada Ilah (Tuhan) -yang haq disembah- selain Allah."

3. Membeda-bedakan antara masalah 'Aqidah dan Hukum di dalam berargumentasi dengan Khabar Ahâd (Hadîts Ahâd) pada dasarnya hanya berpijak pada kerangka berfikir bahwa: amal perbuatan tidak ada kaitannya dengan 'Aqidah dan 'Aqidah tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum 'amaliyyah (praktis).

Kedua statement ini adalah BATHIL dan termasuk BID'AH (hal yang diada-adakan) oleh Ahli Kalam termasuk Hizbut Tahrir. Islam justeru membawa hal yang amat kontras  dengan itu semua; Tidak ada hukum yang bersifat 'amaliy (praktis) kecuali ia selalu berkaitan dengan dasar-dasar 'aqidah, yaitu Iman kepada Allah; bahwa Dia telah mengutus Rasul-Nya agar menyampaikan dari-Nya hukum ini; beriman akan kebenaran Rasul, amanahnya di dalam menyampaikan risalah kemudian beriman kepada konsekuensi-konsekuensi dari hukum 'amaliy tersebut yang berupa pahala atau dosa; kesengangan atau kesengsaraan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah…"
Ayat diatas menunjukkan hukum 'amaliy, kemudian Allah Ta'ala berfirman :

"…jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat…" (Q.s., an-Nûr :2)

Jadi, (dalam penutup ayat ini) Allah Ta'ala mengaitkan hukum 'amaliy dengan 'aqidah beriman kepada Allah dan Hari Akhir.

(Diambil dari buku Mashâdir al-Istidlâl 'Ala Masâ`il al-I'tiqâd , karya Syaikh 'Utsman 'Ali Hasan, Hal.42-48)

C. Sekilas Tentang pandangan Imam Asy-Syafi'iy

Imam asy-Syâfi'iy dijuluki oleh kalangan Ahlu al-Hadîts sebagai Nâshir as-Sunnah (pembela as-Sunnah). Ini tentu saja merupakan penghargaan tertinggi terhadap sosok beliau dan bukan hanya sekedar simbol belaka. Sikap, ucapan dan karya-karya tulis beliau menjadi saksi untuk itu.

Dimasa hidup beliau, timbul bermacam-macam aliran keagamaan yang mayoritasnya selalu menyerang as-Sunnah. Mereka dapat dibagi menjadi tiga kelompok: Pertama, mengingkari as-Sunnah secara keseluruhan (Inkar Sunnah). Kedua, tidak menerima as-Sunnah kecuali bila semakna dengan al-Qur'an. Ketiga, menerima as-Sunnah yang mutawatir saja dan tidak menerima selain itu alias menolak Hadits Ahâd (Hizbut Tahrir).

Beliau menyikapi ketiga kelompok tersebut dengan tegas; kelompok pertama dan kedua tersebut secara terang-terangan ingin merontokkan as-Sunnah dan tidak menganggapnya sebagai salah satu sumber utama hukum Islam yang bersifat independen sementara kelompok ketiga, tidaklah kurang dari itu. Artinya sama saja antara Inkar Sunnah dengan Hizbut Tahrir

Terhadap kelompok pertama, beliau menyatakan bahwa tindakan mereka tersebut amat berbahaya karena dengan begitu rukun Islam, seperti shalat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lainnya menjadi tidak dapat dipahami bila hanya berpijak kepada makna global dari al-Qur'an kecuali dari makna secara etimologisnya saja. Demikian pula terhadap kelompok kedua, bahwa implikasinya sama saja dengan kelompok pertama.

Sedangkan terhadap kelompok ketiga (kaum Mu'tazilah / Hizbut Tahrir), beliau membantah pendapat mereka dengan argumentasi yang valid dan detail. Diantara bantahan tersebut adalah sebagai berikut:  

  • Di dalam mengajak kepada Islam, Rasulullah mengirim para utusan yang jumlahnya tidak mencapai angka mutawatir. Maka bila memang angka mutawatir tersebut urgen sekali, tentu Rasulullah tidak merasa cukup dengan jumlah tersebut sebab pihak yang dituju oleh utusan tersebut juga memiliki hak untuk menolak mereka dengan alasan tidak dapat mempercayai dan mengakui berita yang dibawa oleh mereka.
  • Bahwa di dalam peradilan perdata dan pidana yang terkait dengan harta, darah dan nyawa harus diperkuat oleh dua orang saksi padahal yang menjadi landasannya adalah khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh jumlah yang tidak mencapai angka mutawatir alias Hadits Ahâd tetapi meskipun demikian, asy-Syâri' (Allah Ta'ala) tetap mewajibkan hal itu.
  • Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam membolehkan orang yang mendengar darinya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar tersebut meskipun hanya oleh satu orang saja. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
    "Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlaq dan derajat seseorang (seorang hamba) yang mendengar hadits dari kami lantas menghafalnya hingga menyampaikannya; (sebab) betapa banyak orang yang membawa ilmu (hanya berilmu dan tidak lebih ilmunya namun dia menghafal dan menyampaikannya) kepada orang yang lebih berilmu darinya dan betapa banyak orang yang membawa ilmu tetapi dia tidak berilmu (namun mendapatkan pahala menyampaikannya). (H.R.Abu Daud)
  • Para shahabat menyampaikan hadits-hadits Rasulullah secara individu-individu dan tidak mensyaratkan harus diriwayatkan oleh orang yang banyak sekali.
Demikianlah diantara bantahan beliau di dalam menegaskan wajibnya menerima hadits Ahâd. (Penggalan dari materi Buletin an-Nur, dengan tema: Imam asy-Syafi'iy; pembelaannya terhadap as-Sunnah)

D. Fatwa Ulama Kontemporer

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn ditanya tentang orang yang menganggap hadits-hadits Ahâd tidak dapat dijadikan landasan dalam masalah 'aqidah menjawab:
"Tanggapan kami terhadap orang yang beranggapan bahwa hadits-hadits Ahad tidak dapat menjadi landasan dalam masalah 'aqidah dengan alasan ia hanya memberikan informasi secara zhann (tidak pasti) sedangkan masalah 'aqidah tidak dapat dilandasi oleh sesuatu yang bersifat zhann adalah bahwa pendapat semacam ini tidak tepat sebab dilandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat pula. Ini dapat dibuktikan dengan beberapa tinjauan:
  • Pendapat bahwa hadits Ahad hanya memberikan informasi secara zhann tidak dapat digeneralisir sebab ada banyak khabar/berita yang bersifat Ahâd (individuil) dapat memberikan informasi secara yakin, yaitu bila ada qarâ-in (dalil-dalil penguat) yang mendukung kebenarannya seperti ia telah diterima secara luas oleh umat. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhu :
    "Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung kepada niat"
    Ini merupakan khabar Ahâd, meskipun demikian kita tahu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam -lah yang mengucapkannya. Statement seperti ini telah dianalisis oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah, al-Hâfizh Ibnu Hajar, dan lainya.
  • Bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengirimkan individu-individu (orang per-orang) guna mengajarkan permasalahan 'aqidah yang prinsipil (Ushûl al-'Aqîdah), yakni dua kalimat syahadat (Lâ ilâha illallâh , Muhammad Rasûlullâh) sedangkan pengiriman yang dilakukan oleh beliau merupakan hujjah yang tidak dapat ditolak. Indikatornya, beliau mengirimkan Mu'adz bin Jabal ke negeri Yaman. Mu'adz menganggap pengiriman dirinya sebagai hujjah yang tidak dapat ditolak oleh penduduk Yaman dan harus diterima.
  • Bila kita mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar Ahâd, maka berarti bisa dikatakan pula bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah (hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan/aktivitas) tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd sebab al-Ahkâm al-'Amaliyyah selalu disertai oleh suatu 'aqidah bahwa Allah Ta'ala memerintahkan begini atau melarang begitu. Bila pendapat semacam ini (yang mengatakan bahwa al-Ahkâm al-'Amaliyyah tidak dapat juga dilandaskan kepada khabar Ahâd) diterima, tentu banyak sekali hukum-hukum syara' yang tidak berfungsi. konsekuensinya, bila pendapat semacam ini harus ditolak, maka tentunya pendapat yang mengatakan bahwa masalah 'aqidah tidak dapat dilandaskan kepada khabar al-Ahâd harus ditolak pula karena tidak ada bedanya.
  • Bahwa Allah Ta'ala memerintahkan orang yang jahil/tidak tahu agar merujuk kepada pendapat Ahl al-'Ilm (ulama) terhadap salah satu permasalahan 'aqidah yang maha penting, yaitu tentang risalah. Allah Ta'ala berfirman: "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Q.,S. 16/an-Nahl: 43)… dan hal ini mencakup pertanyaan yang diajukan oleh individu atau kelompok.

Kesimpulannya:

Bahwa bila ada qarâ-in yang mendukung kebenaran khabar al-Ahâd/al-Wâhid, maka ia dapat menginformasikan ilmu pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) dan dapat dijadikan landasan dalam al-Ahkâm al-'Amaliyyah dan 'Ilmiyyah. Sedangkan orang yang membedakan antara kedua hukum ini tidak memiliki dalil untuk membedakannya, bila dia menisbatkan pendapat ini kepada salah seorang imam (ulama mazhab yang empat, misalnya -red) tentang adanya pembedaan antara keduanya, maka dia harus menguatkan statementnya itu dengan sanad (landasan) yang shahîh dari imam tersebut, kemudian juga menjelaskan landasan yang dijadikannya sebagai dalil. Majmû' Fatâwa wa Rasâil Fadlîlah asy- Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn.