ISLAM DAN PAHAM PLURALISME
AGAMA
|
Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi
|
Pikiran yang menganggap semua
agama itu sama telah lama masuk ke
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan. Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi. Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn, Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas. Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat |
di pinggir jalan kota Manchester Inggeris
terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like
Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan
apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang
ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub
sepakbola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like
religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di
Jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap
agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu. Agama adalah fanatisme,
kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My
religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras.
Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilÉhahu
hawÉhu (QS.25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang
problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi
gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu,
mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai
kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being),
kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan
agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian
mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa
ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence).
Demikian pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam
kesendirian”. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman,
intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang
punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya
struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-dokrin.
Tapi bagi sosilog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama
sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari
matriks kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau
ritus-ritus keagamaan tidak bisa difahami kecuali dengan matriks kultural
tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup
sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The
Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi
pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan
manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para
sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga
tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun
ekstra-psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek
transendensi. Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion
karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Amstrong
dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang
Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci,
apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Professor al-Attas sangat jitu ‘Islam,
sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah,
Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para
ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep
asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga
perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s
God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang
ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang
digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal)
harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti
manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya. Socrates pun pernah
berkata:”Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti
berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan
dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam
makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of
Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa
arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang. Akhirnya,
sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam
fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas
obyektif. Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur
bagi atheisme. Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-GhazzÉli dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah
menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak
jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah
disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle
saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-GhazzÉli ketika
mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi
Maha Kuasa). Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal
manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak
boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas
manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd. Tuhan
yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari
pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk
kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan atau bahkan tuhan
tanpa Tuhan. Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya
itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s
really religion but without god. Kini di Indonesia dan di negeri-negeri
Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah
Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek
kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah
antara agama dan politik dibangun kokoh. Para
kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “politik Islam no” tapi lalu
berbisik “berpolitik yes”….”money politik lÉ siyyama”.
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok
pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan
berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata professor pakar studi
Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama
itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud
Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “anda jangan
menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati
“jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” membiarka pembongkaran
batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata
mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar
seperti ada suara besar mengingatkan “kalau anda tidak pluralis
anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran
agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak
beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global
theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent
Unity of Religions-nya F.Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di
negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang
relativisme dan nihilsme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan
semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu
kebenaran selain Allah’. SharÊ‘ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para
ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif. Walhal, Tuhan
tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam
Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang
kawan membayangkan di Jakarta
nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan
santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar