Label

Minggu, 15 Februari 2015

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA




Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke  Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.  Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. 
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya  Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World  pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.   
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology.  Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu  ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung “Tradisionalisme” Membangun Pluralisme Agama). Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn, Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar  terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas. Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
di pinggir jalan kota Manchester Inggeris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.  
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne  juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilÉhahu hawÉhu (QS.25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-dokrin. 
Tapi bagi sosilog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa difahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra-psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi. Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Amstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Professor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia. 
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal)  harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan.  Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya. Socrates pun pernah berkata:”Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif.  Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi atheisme.  Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-GhazzÉli dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak,  kita bisa  bayangkan apa reaksi al-GhazzÉli ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa). Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan  atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s really religion but without god. Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”….”money politik  lÉ siyyama”
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata professor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” membiarka pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar  mengingatkan “kalau anda  tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F.Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilsme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. SharÊ‘ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka  semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar