Label

Jumat, 27 Februari 2015

BID’AH DAN NIAT BAIK

BID’AH DAN NIAT BAIK

Oleh : Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari


Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.
Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.
Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.
Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.
Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana hadits : “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur lahiriah setiap amal.
Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.
Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka amalnya diterima, dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak.
Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah : “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya”. Beliau berkata, ‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah”.
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.
Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)”.
Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamn, “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.
Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya!
Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian, “Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.
Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah adalah hadits sebagai berikut.
“Artinya : Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah semata”.
Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan. Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa melihat niatnya yang baik.


Senin, 23 Februari 2015

Ciri Perjuangan Muhammadiyah

Ciri Perjuangan Muhammadiyah

Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut.



1.      Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2.      Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3.      Muhammadiyah adalah gerakan tajdid

A.     Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.

Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.

B.
      Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.

C.
      Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat, syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.

Sifat Tajdid yang dikenakan pada gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.

Untuk membedakan antara keduanya maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification) dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.


Kamis, 19 Februari 2015

Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia


Jejak Sejarah Yahudi di Indonesia

oleh : Ridwan Saidi
 
Sejak gerakan zionis internasional Freemasonry didirikan di Inggris tahun 1717, orang Yahudi lebih suka menyelubungi aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang bertujuan "kemanusiaan". Pengumpulan dana dipusatkan di New York. Sejak 17 November 1875, pimpinannya adalah seorang Yahudi di Rusia, Nyonya Blavatsky. Jurnal The Theosofist, yang diterbitkan di New York, pada terbitan tahun 1881 menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus Baron van Tengnagel untuk mendirikan loge, rumah ibadat kaum Vrijmetselarij/Freemasonry di Pekalongan. Kota ini dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota, di samping dikenal sebagai konsentrasi santri di Jawa Tengah. Loge didirikan tahun 1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat berhubung praktek ritualisme mereka, yaitu memanggil arwah. Karena itu, penduduk menyebut loge sebagai gedong setan.
Pengalaman Pekalongan memaksa mereka mengalihkan kegiatan ke Batavia. Dua loge besar didirikan di Jalan Merdeka Barat (sebelumnya bernama Blavatsky Straat), dan Jalan Budi Utomo (sebelumnya bernama Vrijmetselarijweg). Dua loge itu, di samping loge yang didirikan di Makassar, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan ritual saja, untuk Yahudi Belanda dan Eropa, yang bekerja di Hindia Belanda di sektor birokrasi VOC/Pemerintah Hindia Belanda, dan swasta.
Hindia Belanda dianggap negeri yang aman sebagai wilayah operasi mereka, karena penduduk menganggap Yahudi Belanda/Eropa sebagai orang Nasrani. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina Rotary Club.
Aktivitas ritual belaka berujung pada kebuntuan: gerakan zionis jalan di tempat. Maka, gerakan zionisme intenasional untuk Asia, yang berpusat di Adyar, India, pada 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. van Bloomenstein ke Jawa.
Untuk mengubah pola pergerakan, pada 12 November 1912 Bloomenstein berhasil mendirikan Theosofische Vereeniging (TV), yang kemudian mendapatkan rechtpersoon, pengakuan, dan dimuat dalam Staatblaad No. 543.
TV bekerja di kalangan intelektual dan calon intelektual bumiputra. TV pun membiayai Kongres Pemuda I, 1926. Kongres itu bahkan digelar di loge Broederkaten di Vrijmetselarijweg. Akibatnya, ormas pemuda memboikot kongres itu, dan reaksinya adalah, pada 27 dan 28 Oktober 1928 ormas pemuda menggelar Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Aktivitas zionis yang kian meningkat di Hindia Belanda tidak saja di kalangan masyarakat, melainkan juga di pemerintahan, menjelang dan pasca-Perang Dunia I itu, menggelisahkan orang-orang Jerman. Terutama peran Snouk Hurgronje, Belanda Yahudi, dalam Perang Aceh.
Seperti diketahui, Turki sebagai sekutu Jerman gagal membantu Aceh karena panjangnya garis supply. Kehadiran agen zionis internasional Sneevliet di Jawa, yang berhasil mengkader pemuda intelektual Indonesia, makin menguatkan tekad Jerman untuk meruntuhkan pemerintah zionis Hindia Belanda.
Hal itu tercium oleh agen Belanda. Tersebarlah isu bahwa H.O.S. Tjokroaminoto menerima dana 2 juta gulden untuk mengkudeta kompeni. Untuk mengonfirmasi kebenaran isu itu, Agus Salim ditugaskan menguntit Tjokroaminoto. Ironisnya, kewibawaan Tjokroaminoto malah mempesona Salim, dan tahun 1918 Salim mengetok kawat dari Surabaya, mengabarkan bahwa ia masuk SI (Sarikat Islam) dan berhenti sebagai agen.
Di bidang bisnis, orang Yahudi di Jakarta menguasai pusat bisnis elite di Pasar Baru, Jalan Juanda, dan Jalan Majapahit. Mereka menguasai perdagangan permata, jam tangan, dan kacamata. Pusat hiburan elite di Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi Polandia. Akhirnya, Batavia menjadi salah satu kota zionis yang terpenting di Asia.
Maka, tidak mengherankan ketika Jepang sebagai sekutu Jerman merebut Indonesia dari tangan Belanda, Jepang melakukan kampanye anti-zionis itu. Tokoh-tokoh zionis Hindia Belanda, seperti Ir. Van Leeweun, dikirim ke kamp tahanan dan tewas di situ. Kesadaran anti-zionis juga merebak di kalangan rakyat. Dr. Ratulangi pada Maret 1943 memimpin rapat raksasa di Lapangan Ikada, mengutuk zionisme.
Usaha menghidupkan lagi gerakan zionisme masih dilakukan pascakemerdekaan. Pada 14 Juni 1954, berdiri Jewish Community in Indonesia, dipimpin Ketua F. Dias Santilhano dan Panitera I. Khazam. Di dalam anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari Vereeniging Voor Joodsche Belangen in Nerderlandsch-Indie te Batavia, yang berdiri pada 16 Juli 1927.
Tidak jelas, apakah perkumpulan itu di masa reformasi kini masih eksis atau tidak. Namun, pembicaraan yang menyeruak akhir-akhir ini, tentang operasi zionis internasional di Indonesia, kiranya mempunyai dasar yang kuat. Baik ditilik dari sejarah kita maupun data muktahir, seperti kesaksian mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, yang termuat dalam memoarnya yang ditulis oleh Ramadhan KH. Di situ antara lain dikatakan, "Saya sendiri tidak pernah punya hubungan dengan Israel, paling-paling, saya ingat, saya pernah datang ke Jalan Tosari memenuhi undangan mata rantai Israel yang ada di Jakarta."

Sumber: http://www.gatra.com/VI/2/KOL2-2.html (broken link)

Senin, 16 Februari 2015

DAFTAR BUKU KELUARGA

NO JUDUL BUKU
1 Ensiklopedi Muhammadiyah
2 Materi induk pengkaderan Muhammadiyah
3 Akhlak Pemimpin Muhammadiyah
4 Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
5 Ideologi dan Strategi Muhammadiyah
6 Uswah Hasanah Dalam Muhammadiyah
7 Memelihara Ruh Muhammadiyah
8 Visi dan Missi Muhammadiyah
9 Muhammadiyah dan Wahhabisme
10 Materi kuliah pendidikan KeMuhammadiyahan
11 Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah
12 Manifestasi Gerakan Tarbiyah Bagaimanakah Sikap Muhammadiyah ?
13 Pemikiran Muhammadiyah: Respon terhadap Liberalisasi Islam
14 Tuntunan Dzikir dan Do'an menurut HPT Muhammadiyah
15 Metode Ijtihad Majelis Tarjih
16 Fastabiqul Khoirot
17 Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Bid'ah, Khurafat
18 Dakwah Kultural Muhammadiyah
19 Dakwah Kultural Muhammadiyah
20 Muqaddimah, AD/ART Muhammadiyah
21 Sang Surya Makin Terang Sesudah Muktamar Muhammadiyah ke 39 di Padang
22 Tanya Jawab Agama 1
23 Tanya Jawab Agama 2
24 Tanya Jawab Agama 3
25 Tanya Jawab Agama 4
26 Tanya Jawab Agama 5
27 Tanya Jawab Agama 6
28 Islam dan Dakwah Pergumulan antara Nilai dan Realitas
29 Ber-Muhammadiyah secara Kultural
30 Cara Shalat Menurut HPT Muhammadiyah
31 Bid'ah dan Churafat
32 Ibadah Praktis
33 Fiqih Lima Mazhab (Ja'fari-Hanafi-Maliki-Syafi'i-Hambali)
34 Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Kep. Muktamar NU 1926-2004 M)
35 Ahkamul Fuqoha' fi Muqororoti Muktamaroti Nahdlotul Ulama' (ke 1-7)
36 Buku Putih Kyai NU
37 Santri Bertanya Mantan Pendeta Menjawab
38 Santri NU Menggugat Tahlilan
39 Aliran dan Paham Sesat di Indonesia
40 Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia !
41 17 Langkah Amien Rais Membangun Indonesia
42 Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 - 1942
43 Mutiara Islam Yang Hilang
44 Watak Peradaban dalam epistemologi Ibnu Khaldun
45 Logika Agama
46 Ayat-ayat Motivasi Pembakar Semangat hidup
47 Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah
48 Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad)
49 Beberapa Pelajaran Penting Untuk Segenap Ummat
50 Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah
51 Syarh Ushul Iman Prinsip-Prinsip dasar Keimanan
52 Fiqih Sunnah 1 (Bahasa Arab)
53 Fiqih Sunnah 2 (Bahasa Arab)
54 Fiqih Sunnah 3 (Bahasa Arab)
55 Fiqih Sunnah 4 (Bahasa Arab)
56 Fiqih Sunnah 5 (Bahasa Arab)
57 Fiqih Sunnah 6 (Bahasa Arab)
58 Fiqih Sunnah 7 (Bahasa Arab)
59 Fiqih Sunnah 8 (Bahasa Arab)
60 Fiqih Sunnah 9 (Bahasa Arab)
61 Fiqih Sunnah 1 (Bahasa Indonesia)
62 Fiqih Sunnah 2 (Bahasa Indonesia)
63 Fiqih Sunnah 9 (Bahasa Indonesia)
64 Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
65 Halal dan Haram dalam Islam
66 Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah
67 I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
68 Tasauf Modern
69 Tafsir Al-Azhar Juz I
70 Hamka Membahas soal-soal Islam
71 Tanja-Djawab 1
72 Tanja-Djawab 2
73 Aqidah Islam pola hidup manusia beriman
74 Shahih Muslim Juz I
75 Shahih Muslim Juz II
76 Tarjamah Riadhus Shalihin I
77 Tarjamah Riadhus Shalihin II
78 Bulughul Maram
79 Tarjamah Hadish Bulughul Maram
80 Tafsir Al-'Usyr Al-Akhir
81 Tafsir Al-'Usyr Al-Akhir
82 Sedjarah Al-Qur'an
83 Musthalahul Hadist
84 Fiqhud-Da'wah
85 Al-Islam Jilid I
86 Al-Islam Jilid II
87 Al-Qur'an dan Terdjemahnja Djuz 1-10
88 Al-Qur'an dan Terdjemahnja Djuz 11-20
89 Al-Qur'an dan Terdjemahnja Djuz 21-30
90 Tafsir Al-Karim Ar-Rahman
91 Tafsir Qur'an Karim
92 Tafsir Al-Ibriz Juz 1-10
93 Tafsir Al-Ibriz Juz 11-20
94 Tafsir Al-Ibriz Juz 21-30
95 Bughyatul Mustarsyidin
96 Tajridus Sharikh
97 Al Mu'jamul Mufhiros
98 Tafsir Al Jalalain
99 Tafsir Al Jalalain
100 Soal - Djawab 1
101 Soal - Djawab 2
102 Soal - Djawab 3
103 Soal - Djawab 4
104 Pengajaran Shalat
105 Adakah Tuhan ? Pertukaran Pikiran tantang ada tidaknya Tuhan
106 At - Tauhid
107 Fiqih Islam
108 Fiqih Islam
109 Kumpulan Do'a dari Al-Qur'an dan Hadist
110 Bahan-bahan Khutbah untuk kesejahteraan keluarga
111 Asbabun Nuzul
112 Kompilasi Hukum Islam di indonesia
113 Ilmu Faraidl
114 Pelajaran Faraidl
115 Khutbah Jum'at kotemporer
116 Khutbah Jum'at Jilid V
117 Khutbah-Khutbah Pilihan 1
118 Khutbah Jum'at Jilid II
119 Inti Khutbah
120 Kompilasi Hukum Islam di indonesia
121 Qaidah-qaidah Fiqih
122 Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir
123 Rangkaian Tjerita dalam Al-Qur'an
124 Sedjarah Hukum dalam Islam
125 Biography Empat Serangkai Imam Madzhab (Hanafy-Maliky-Sjafi'y-Hanbaly)
126 Undang-undang Perkawinan
127 Pengobatan Yang Haq & Bathil Menurut Islam
128 Perlukah Bermazhab
129 Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik 1
130 Bersihkan Tauhid Anda dari Noda Syirik 2
131 Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah
132 Sanggahan Terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi
133 Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam
134 Gesang Cara Islam
135 Sorotan Terhadap Kisah Maulid, Nisfu Sja'ban, Manaqib Syekh A.Q. Jaelani  
136 Kesehatan Mental
137 Penemuan Ilmiah Tentang Kandungan Al-Qur'an
138 Perbandingan Agama
139 Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mu'min
140 Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar
141 Shalat bersama Rasulullah SAW
142 Wahabi Menurut Pandangan Ilmuwan
143 Penghibur Hati Kepada Keluarga Si Mati
144 Bibel, Qur'an dan Sains Modern
145 Minhajus Shalikhin Terjemah Arbain An-Nawawi
146 Durusul Aqa'id Diniyyah
147 Prinsip-Prinsip Pengetahuan Alam dalam Al-Qur'an
148 Bagaimana Sikap Muslim Menghadapi Masalah Khilafiyah
149 Kekacauan Filosof Barat Terhadap Nabi Muhammad SAW
150 Tawassul Hadiah Pahala dan Mengajar Orang Mati
151 Rangkaian Dzikir dan do'a Rasulullah SAW
152 Pelajaran Tajwid
153 50 Mutiara Hikmah
154 Kisah Sahabat Nabi : Salman Al-Farisi dan Abu Dzar Al-Ghifari
155 Psikologi Perkembangan
156 Risalah Tauhid
157 Mensiasati Kehidupan
158 Tuntunan Sholat
159 Kenapa Takut Pada Islam
160 Rahasia Alam Kebatinan
161 Korban Islam Jama'ah dan yang Murtad
162 Hidup Sejahtera Dalam Naungan Islam
163 Pokok-pokok sebab perbedaan faham para Ulama' dalam menetapkan Hukum Syara'
164 Seri Islamologi : Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Barat
165 Pedoman Rumah Tangga Bahagia
166 Sedjarah 25 Nabi / Rasul
167 Sekitar Masuknja Islam ke Indonesia
168 Motivasi Zakat
169 Tawazun Sebuah Prinsip Gerakan Da'wah
170 Peran Keluarga, Sekolah dan Partai dalam membangun generasi cerdas, generasi peduli bangsa
171 Pokok-pokok Ilmu agama Islam
172 Risalah Nikah Penuntun Perkawinan
173 Aspirasi Umat Islam Terpenuhi Tanpa Partai Islam
174 Tuntunan Qurban dan Permasalahannya
175 Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Raka'at
176 Cara Berdiri I'tidal
177 Islam dan Akal Merdeka
178 Dari Nasehat sampai Syafa'at
179 Khutbah Jum'at
180 Agenda Cinta Remaja Islam
181 Logika Filsafat Berpikir
182 Kumpulan Do'a dari Al-Qur'an dan Hadist (Bahasa Arab)
183 Kumpulan Do'a dari Al-Qur'an dan Hadist (Bahasa Indonesia)
184 Al-Amtsilatul Tashrifiyah
185 Matahari Islam Terbit dari Barat
186 Sholat Hajat
187 Do'a-do'a Praktis Ibadah Haji dan Umroh
188 Aqidatul Awam
189 Cara Cepat Belajar Tajwid Praktis
190 25 Tuntunan Upacara Perkawinan Islami
191 50 Bunga Nasehat buat Ukhti Muslimah
192 Kamus An-Nur (Arab-Indonesia) dan (Indonesia-Arab)
193 Himpunan Kamus Politik
194 Tiga Serangkai (Sejarah Indonesia-Sejarah Umum-Tata Negara)
195 Reglemen Indonesia Jang Dibaharui
196 Filsafat Pendidikan Islam
197 Pengantar Anthropologi Kebudajaan Indonesia
198 Pengantar Ilmu Hukum
199 Sosiologi
200 Pelajaran Sejarah
201 Sosiologi dan Antopologi
202 Ethnografie Indonesia
203 A Progrsisive Course Of English For Indonesia
204 Hak-Hak Asasi Manusia
205 Seri Empat Sedjalan
206 Pelajaran Bahasa Arab
207 Pelajaran Bahasa Arab
208 Pelajaran Bahasa Arab
209 Pondok Karangasem Perspektif Kesejarahan dan Kelembagaan
210 Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren
211 Pengantar Ilmu Hukum
212 Pergeseran Kekuatan Eksekutif
213 Filsasafat dan Perbandingan Agama2
214 Ekonomi Koperasi
215 Azas-Azas Hukum Perdata
216 Pelajaran Tata Negara
217 Pelajaran Tata Negara
218 Pelajaran Sejarah
219 Kamus Umum Bahasa Indonesia
220 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
221 Azas-Azas Hukum Pidana
222 Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid III
223 Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren
224 Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor

Minggu, 15 Februari 2015

Sejarah Muhammadiyah Bulu

DARI MASYUMI KE MUHAMMADIYAH



Kawan, tahu nggak cikal bakal Muhammadiyah Bulu itu dari mana ? dan siapa yang membawa serta menyebarkannya ?

Adanya Muhammadiyah didaerah Bulu tidaklah lepas dari peran sejarah Masyumi Cabang Bulu yang dahulu menjadi kekuatan politik yang utama didaerah pesisir pantura tak terkecuali di Bulu dan sekitarnya.

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) adalah partai politik ummat Islam di Indonesia yang utama pasca kemerdekaan (orde lama), yang didukung oleh berbagai macam organisasi Islam diseluruh penjuru Nusantara, baik yang kecil ataupun yang besar seperti Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama’, Persatuan Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Sarikat Islam, dll.

Dan pada waktu pertengahan perjalanannya Masyumi ditinggal oleh dua pendukungnya yakni NU dan SI yang akhirnya mendirikan partai sendiri (Partai NU dan PSII), peristiwa inilah yang memulai terciptanya pecahnya politk Islam di Bulu menjadi dua kubu besar yakni Partai Nahdhotul Ulama’ dan Masyumi (Non NU). Setelah itu terjadilah beberapa gesekan politik antara Partai Nahdhotul Ulama’ dan Masyumi (Non NU) sehingga muncul ketegangan-ketegangan yang mencapai puncaknya pada “Peristiwa Bulu Kelabu” yaitu peristiwa bentrok fisik antara Gerakan Pemuda Anshor (Pemuda NU) dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (Pemuda Masyumi) diwilayah Bulu. Sehingga setelah peristiwa tersebut daerah Bulu terpecah menjadi dua Blok besar yakni Blok NU dan Blok Non NU (Masyumi).

Pada tahun 1959 setelah terbitnya Dekrit Presiden, Presiden Soekarno menginstruksikan untuk dibubarkannya Masyumi dan Masyumi dengan terpaksa membubarkan dirinya baik ditingkat pusat maupun daerah, sehingga Masyumi Cabang Bulu juga harus membubarkan diri pada tahun tersebut. Dan setelah itu untuk mengkoordinasi para mantan anggota Masyumi di Bulu yang tidak punya wadah organisasi, maka didirikanlah Persyarikatan Muhammadiyah di Bulu serta mengubah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) menjadi Pemuda Muhammadiyah. Dan setelah itu Muhammadiyah di Bulu terus dibina oleh KH. Mahbub Ikhsan Tokoh Muhammadiyah dari kota Tuban dan hingga sampai sekarang Muhammadiyah beserta Ortomnya mampu survive dan punya amal usaha lembaga Pendidikan yang bisa dibanggakan di Bulu. Semoga semangat perjuangan dalam mewujudkan misi ke-Islamannya mulai dari Masyumi hingga ke Muhammadiyah tetaplah terjaga dan berkobar serta tidak akan luntur digerus oleh waktu. Amin.........!

                                           

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA

ISLAM DAN PAHAM PLURALISME AGAMA




Ust. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke  Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.  Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi. 
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya  Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order,  oleh Ronald Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal rintisan oleh Zwemmer The Muslim World  pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah tentu disitu framework Barat sangat dominan.   
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology.  Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah pendekatan religious filosofis  dan membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Íikmah al-khÉlidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon  (m.1998),  Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain. Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu  ia mengangkat topik tentang metafisika, epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis itu menjadi al-Íikmah al-khÉlidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama. Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha (baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung “Tradisionalisme” Membangun Pluralisme Agama). Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain. Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai dÊn kami hadirkan tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai DÊn, Kajian terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama, kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar  terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas. Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur. Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.
di pinggir jalan kota Manchester Inggeris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat “It’s like Religion”. Iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Disitu terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporternya yang fanatik. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan dibawahnya Manchester United.  
Sepakbola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s like religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu di pasang di Jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu. Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne  juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadha ilÉhahu hawÉhu (QS.25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus. Jikapun mampu, mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.

F. Schleiermacher kemudian mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “apa yang kita lakukan dalam kesendirian”. Disini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yang punya struktur keimanan, ide-ide dan doktrin-dokrin. 
Tapi bagi sosilog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matriks kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak bisa difahami kecuali dengan matriks kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra-psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi. Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat - Kristen - kata Amstrong dalam History of God justru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Professor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, Manusia dan lain-lain dalam Islam telah jelas sejak awal. Para ulama kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia. 
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God, (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal)  harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan.  Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya. Socrates pun pernah berkata:”Wahai warga Athena! aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”. Artinya “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Apa arti agama baginya tidak penting, malah kalau perlu istilah ini dibuang. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif.  Konsep tuhan rasional inilah yang justru menjadi lahan subur bagi atheisme.  Sebab tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam al-GhazzÉli dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut. Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan kedalam definisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak,  kita bisa  bayangkan apa reaksi al-GhazzÉli ketika mengetahui tuhan di Barat kini is no longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa). Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Buktinya tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia “tidak boleh” menjadi tiran, “tidak boleh” ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta dianggap absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke 19 “dibunuh” Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa tuhan  atau bahkan tuhan tanpa Tuhan. Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Mungkin mereka hanya malu mengatakan it’s really religion but without god. Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendekiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak “politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”….”money politik  lÉ siyyama”
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah antar agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung”! kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi dan kita harus akur” kata professor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “Ya akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”; “Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslim pun diajari logika relativis “anda jangan menganggap agama anda paling benar”. Tak ketinggalan para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” membiarka pembongkaran batas antar agama, menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus. Sebab, kata mereka, pluralisme seperti juga sekularisme, adalah hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar  mengingatkan “kalau anda  tidak pluralis anda pasti teroris”
Anehnya, untuk menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti ia tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology-nya John Hick, atau kalau kurang kental pakai Transcendent Unity of Religions-nya F.Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilsme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. SharÊ‘ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka  semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Dalam Islam Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan membayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.