BID’AH DAN NIAT BAIK
Oleh : Syaikh Ali bin
Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal
mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak
mempunyai pikiran untuk mengoreksi agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk
melakukan bid’ah ! Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” [Muttafaq
Alaihi]
Untuk membentangkan sejauh mana tingkat kebenaran cara mereka
menyimpulkan dalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan tersebut, kami
kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang
sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian
dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia
lakukan adalah memperhatiakn semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih
dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus
dilakukan bila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan
dalil.
Tetapi bila dia orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporer yang
bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh coba-coba memasuki kepadanya,
seperti kata pepatah : “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu!”.
Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat”
adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua pilar dasar setiap amal,
yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah
tidak meretas ke dalamnya.
Adapun pilar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai Sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia
tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk
merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.
Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman
agama, baik yang pokok maupun cabang, juga yang lahir dan yang batin. Dimana
hadits : “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal
yang batin. Sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang
tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai tolak ukur
lahiriah setiap amal.
Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa
setiap amal yang benar adalah bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan
mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang keduanya merupakan
syarat setiap ucapan dan amal yang lahir maupun yang batin.
Oleh karena itu, siapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan
sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka amalnya diterima,
dan siapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya
tertolak.
Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika
menafsirkan firman Allah : “Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya”. Beliau berkata, ‘Maksudnya, dia ikhlas dan benar dalam
melakukannya. Sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka
tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga
tidak diterima. Adapun amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena
Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan Sunnah Rasulullah”.
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata “Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah
suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan.
Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu
melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan.
Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia
seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan
sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak
disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena
untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena
Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai
syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak
disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang
kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali
memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama
adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua
adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat
dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu
yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Sesungguhnya amal yang di terima
harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan
sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak
akan diterima”.
Pernyataan itu dikuatkan dan dijelaskan oleh Ibnu Ajlan, ia berkata,
“Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah,
niat baik dan tepat (sesuai sunnah)”.
Kesimpulannya, bahwa sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamn, “Sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat” itu maksudnya, bahwa segala amal dapat
berhasil tergantung pada niatnya. Ini adalah perintah untuk ikhlas dan
mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan
sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya.
Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan
hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena
semata-mata niat baik orang yang melakukannya!
Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas
kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, yaitu dengan pengertian,
“Sesungguhnya segala amal yang shalih adalah dengan niat yang shalih”
Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaidah ilmiah dalam hal
mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.
Dan diantara yang menguatkan bahwa diterimanya amal bukan hanya karena
niat baik orang yang melakukannya saja, tetapi harus pula sesuai dengan Sunnah
adalah hadits sebagai berikut.
“Artinya : Bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki”. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu menjadikan aku
sebagai tandingan bagi Allah? Tetapi katakanlah : “Apa yang dikehendaki Allah
semata”.
Niat baik dan keikhlasan hati sahabat yang agung ini tidak diragukan.
Tetapi ketika ucapan yang keluar darinya bertolak belakang dengan manhaj Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah dan bertutur kata, maka Rasulullah
mengingkari seraya mengingatkan kesalahannya dan menjelaskan yang benar tanpa
melihat niatnya yang baik.